Selamat Datang di Website Pengadilan Negeri Parepare   Click to listen highlighted text! Selamat Datang di Website Pengadilan Negeri Parepare Powered By GSpeech
Logo Pengadilan Negeri Parepare
Last Modiefied: Jumat, 10 Oktober 2025

1639666398247   Logo BerAKHLAK 768x292Logo EVP

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Pare-Pare)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan instansi.

Di Oktober 2024 lalu, nama pemengaruh Ferry Irwandi ramai diperbincangkan warganet setelah mengunggah video Youtube berjudul Membongkar kebohongan Santet & Indigo. Di konten ini, Ferry mendeklarasikan tantangan terbuka bagi pihak mana pun yang mampu membuat dirinya merasakan efek santet. Ia bahkan menawarkan hadiah satu unit Toyota Alphard sebagai imbalan. Unggahan ini selanjutnya menimbulkan perdebatan dan diskusi di berbagai lini masa media sosial. Ditambah lagi, pembahasan mengenai metafisika seperti santet merupakan topik yang sensitif karena bersinggungan dengan ranah spiritual dan budaya lokal.

Santet, teluh, tenung, atau guna-guna adalah salah satu bentuk praktik supranatural yang telah melekat di sebagian kepercayaan masyarakat Indonesia. Melalui media gaib, praktisi santet dipercaya menguasai ilmu hitam yang mampu membuat orang lain jatuh sakit, menderita, bahkan meninggal dunia. Proses ritual santet juga kerap melibatkan penumbalan hewan, pengorbanan darah, rapalan mantra, pemanggilan roh atau jin, serta benda-benda seperti foto dan rambut target.

Bagi keturunan etnis Afrika yang tinggal di New Orleans, berkembang keyakinan yang mirip dengan mitos santet di Indonesia. Kepercayaan ini berakar dari tradisi spiritual di Afrika dan Haiti yang dibawa oleh nenek moyang mereka saat menjadi budak di Amerika Serikat. Mereka meyakini bahwa boneka Voodoo serta boneka lilin dapat menjadi medium untuk mengirim kutukan, penyakit, bahkan maut untuk orang lain.[1]

Di era teknologi seperti sekarang, pembahasan mengenai fenomena metafisika seperti santet memang terdengar sebagai takhayul kuno yang tak perlu ditanggapi serius. Namun di periode modern awal, sejarah mencatat bahwa suatu klaim supranatural ternyata dapat berujung pada tragedi. Saat musim dingin tahun 1691-1692, histeria massa di Salem, Massachusetts mengawali perburuan penyihir (witch hunt) paling tersohor di Amerika Serikat. Akibatnya, 19 orang berakhir di tiang gantung, sedangkan 1 korban yang menolak mengaku menjalankan praktik sihir ditindih dengan batu. Ia akhirnya meninggal dua hari kemudian karena kehabisan napas.[2] Ironisnya, orang-orang yang dicurigai kebanyakan merupakan warga dengan etnis minoritas atau memiliki kedudukan sosial rendah.

Lebih dari 20 tahun silam, fenomena santet juga pernah menghantui Banyuwangi dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Sepanjang Februari 1998 hingga Oktober 1999, setidaknya 250 orang kehilangan nyawa karena dituduh dan dipersekusi sebagai ”dukun santet”.[3] Berbagai rumor berkembang; mulai dari isu konspirasi antek mantan anak buah Soeharto yang kehilangan kekuasaan, keterlibatan Kopassus, hingga balas dendam PKI kepada organisasi NU.[4]

Kepanikan, kecurigaan, dan histeria yang timbul dari tuduhan santet atau sihir telah menjadi suatu kendala sosial yang terus berulang sepanjang sejarah. Peristiwa di Salem dan Banyuwangi menunjukkan bahwa tanpa kejelasan regulasi, masyarakat cenderung bertindak irasional sehingga memicu gelombang kekerasan serta persekusi kolektif. Latar belakang inilah yang mendorong pemerintah untuk membentuk suatu rumusan delik yang berkaitan dengan klaim supranatural dan ilmu klenik. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 252 KUHP sebagai berikut:
(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pembentuk undang-undang menempatkan Pasal 252 KUHP dalam Bab V Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum. Berdasarkan prinsip rubrica est lex, dapat disimpulkan bahwa klaim supranatural dan praktik perdukunan merupakan ancaman terhadap keamanan dan stabilitas masyarakat, bukan sekedar keyakinan pribadi yang bersifat privat. Dalam penjelasan pasal, telah ditegaskan pula ketentuan ini bertujuan untuk mencegah praktik main hakim sendiri (eigenrichting) terhadap seseorang yang menyatakan dirinya “mempunyai kekuatan gaib” serta “mampu menimbulkan penderitaan bagi orang lain”. Delik ini ditempatkan satu kategori dengan tindak pidana seperti penghinaan terhadap simbol negara, penghasutan untuk melawan pemerintah, kekerasan bersama-sama di muka umum, penyebarluasan berita bohong, dan lain-lain.

Pembuktian Delik Santet

Salah satu isu krusial terkait pasal santet adalah: bagaimana membuktikan sesuatu yang bersifat gaib dan tak kasat mata di persidangan? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep pembagian tindak pidana menurut doktrin. Berdasarkan formulasi pembentukan pasal, tindak pidana terbagi menjadi delik formal (formeel delict) dan delik materiel (materieel delict). Delik formil merupakan rumusan delik yang menitikberatkan pada tindakan, sedangkan delik formil menekankan pada akibat.[5] Sebagai contoh, kejahatan sumpah palsu di Pasal 291 ayat (1) KUHP termasuk sebagai delik formil. Alasannya, rumusan pasal tersebut tidak mensyaratkan timbulnya akibat yang disebabkan oleh keterangan palsu. Namun yang menarik, tindak pidana memberikan keterangan palsu pada Pasal 291 ayat (2) KUHP merupakan delik materiel. Hal ini disebabkan elemen pasal tersebut mencantumkan syarat timbulnya akibat berupa “merugikan tersangka, terdakwa, atau pihak lawan”.

Apabila memperhatikan teks Pasal 252 ayat (1) KUHP, unsur objektif dari rumusan delik tersebut adalah “menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang”. Dengan adanya redaksi “dapat”, maka tidak perlu dibuktikan apakah suatu klaim kekuatan gaib benar-banar mengakibatkan penyakit, kematian, atau penderitaan kepada orang lain. Seseorang telah memenuhi rumusan delik Pasal 252 ayat (1) KUHP jika ia mendeklarasikan dirinya memiliki kekuatan gaib, terlepas dari kebenaran klaim tersebut. Melalui formulasi perumusan ini, pembentuk undang-undang dengan cerdik mampu menjerat individu yang berpotensi menimbulkan paranoia dan kecemasan publik, tanpa perlu membuktikan aspek metafisika yang mustahil divalidasi. Karena pendekatannya hanya berfokus pada tindakan, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 252 ayat (1) KUHP termasuk dalam kategori delik formil.

Pasal 252 ayat (2) KUHP mengatur lebih lanjut mengenai unsur subjektif sebagai syarat pemberatan (gekwalificeerde), yakni “mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan”. “Keuntungan” merupakan manfaat berupa benda materiel (seperti uang, barang, atau aset berwujud) maupun imateriel (seperti kemudahan atau pengaruh), sebagai upah maupun imbalan menyelenggarakan jasa praktik supranatural atau kekuatan gaib. “Mata pencaharian” adalah perbuatan yang dilakukan sebagai sumber utama pendapatan, sedangkan “kebiasaan” merupakan kegiatan yang dilakukan berulang kali.

Terdapat beberapa putusan di Belanda yang memiliki keterkaitan dengan unsur subjektif pada Pasal 252 ayat (2) KUHP. Putusan Hoge Raad tanggal 27 Juli 1985 menyatakan dalam membuktikan unsur “membuat sebagai kebiasaan”, diperlukan adanya suatu pengulangan tanpa perlu adanya niat untuk melakukan kejahatan yang sama. Putusan Hoge Raad tanggal 11 Februari 1918 kemudian menegaskan antara satu perbuatan yang satu dengan yang lain memerlukan suatu jangka waktu “relatif lama”.[6] Apabila salah satu unsur subjektif Pasal 252 ayat (2) KUHP terpenuhi, maka pidananya dapat diperberat satu per tiga.

Referensi:

[1] Denise Alvarado, The Voodoo Doll Spellbook: A Compendium of Ancient and Contemporary Spells and Rituals, Weiser Books, California, hlm. 11.

[2] Brian A. Pavlac, Witch Hunts in the Western World, Greenwood Press, Connecticut, 2009, hlm. 141.

[3] Heyder Affan, Pembantaian 'dukun santet' 1998-1999 di Banyuwangi: 'Ada tanda silang, lampu tiba-tiba mati, dan bapak saya dibunuh', https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-64806978, diakses pada 11 Februari 2025.

[4] Pusat Data dan Analisa Tempo, Tragedi Santet Banyuwangi Jilid I, Tempo Publishing, Jakarta, 2019, hlm. 17.

[5] Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 136-137.

[6] P.A.F. Lamintang dan C. Dijsman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 202.

Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech